Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hubungan Psikologi Sosial dalam Bidang Hukum dan Contoh Kasusnya

Hubungan Psikologi Sosial dalam Bidang Hukum dan Contoh Kasusnya - Psikologi sosial mempelajari banyak topik yang berkaitan dengan pemikiran dan perilaku sosial. Karenanya tidak mengejutkan bahwa riset psikologi sosial juga dilakukan pada sejumlah topik hukum. Pada bahasan berikut akan diulas mengenai identifikasi saksi mata (eye witness) dan kesaksian, saksi palsu, deteksi kebohongan, keputusan juri, kesaksian ahli, sikap terhadap hukuman mati, dan diskriminasi dalam sistem hukum.

Identifikasi Saksi Mata dan Kesaksian

Kesalahan identifikasi oleh saksi mata seperti kisah nyata Steven Avery mungkin bukan kejadian langka. Beberapa ahli percaya bahwa kekeliruan saksi mata adalah penyebab utama dari hukuman yang salah, yang menyebabkan ribuan orang tak bersalah dimasukkan dalam penjara (Scheck, Neufeld, & Dwyer). Banyak penelitian juga menunjukkan bahwa identifikasi saksi mata sering tidak akurat (Wels dan Olson).

Dalam sebuah studi dua asisten periset berpura-pura sebagai konsumen yang mengunjungi 63 toko. Agar pelayan toko memperhatikan mereka, asisten itu sengaja berperilaku aneh. Misalnya, seorang asisten membayar sebungkus rokok dengan dengan menggunakan uang recehan logam semua dan meminta petunjuk ke lokasi yang jauh dari toko.

Dua jam kemudian, sepasang lelaki dengan mengenakan setelan datang ke toko, memperkenalkan diri sebagai pengacara yang sedang magang dan meminta pelayan toko mengidentifikasi si asisten dari enam foto. Pelayan yang mengidentifikasi dengan tepat hanya 34 persen. Dengan kata lain, hanya 2 jam setelah berinteraksi dengan orang yang aneh, 65 persen pelayan salah dalam mengidentifikasi.
Hubungan Psikologi Sosial dalam Bidang Hukum dan Contoh Kasusnya
image source: www(dot)clarowny(dot)com 
Baca juga: Pengertian Sistem Hormon dan Proses Kimiawi pada Manusia
Mengapa identifikasi saksi mata terkadang tidak dapat diandalkan? Para psikolog sosial membedakan dua faktor yang mempengaruhi identifikasi saksi mata.

1. Estimator Variables

Variabel estimator adalah faktor yang terkait dengan saksi mata atau situasi dimana suatu kejadian itu disaksikan. Jarak saksi mata dengan situasi atau kejadian yang dilihatnya, besarnya rasa takut yang dirasakan saksi, dan ras dari saksi serta pelaku kejahatan adalah contoh dari variabel estimator.

2. System Variables

Variabel sistem adalah faktor yang berada dibawah kontrol sistem pengadilan atau hukum. Bias dalam urutan barisan tersangka dan pertanyaan sugestif yang diajukan polisi atau jaksa adalah contoh dari variabel sistem.

Sebelum mendiskusikan sistem individual dan variabel estimator, perlu untuk mengulas tiga proses psikologis yang terlibat dalam identifikasi saksi mata:

Akuisisi

Akuisisi adalah proses memahami dan mengiterpretasikan informasi. Untuk memberikan kesaksian yang reliabel, saksi mata harus memperhatikan aspek penting dari kejadian, seperti karakteristik fisik dari pelaku dan urutan perilakunya. Saksi juga harus bisa menginterpretasikan informasi kejadian secara akurat.

Penyimpanan

Storage atau penyimpanan adalah proses menyimpan informasi yang diterima ke dalam memori. Kasus hukum sering berjalan terlambat, ada banyak jeda waktu antara menyaksikan kejadian, pertanyaan polisi, dan kesaksian di pengadilan. Maka dari itu penting bahwa saksi mata dapat menyimpan informasi yang diperolehnya.

Pengambilan Informasi (Retrieval)

Adalah proses mengingat kembali atau pengambilan kembali informasi yang tersimpan dalam memori. Saksi mungkin harus mengingat-ingat beberapa informasi yang mereka tahu, termasuk pertanyaan polisi, identifikasi barisan tersangka, dan kesaksian di pengadilan.

Variabel Estimator

Variabel estimator merupakan faktor yang mempengaruhi identifikasi saksi mata yang terkait dengan saksi atau situasi di mana kejadian itu disaksikan. Terdapat beberapa aspek dalam variabel estimator:

Kesempatan Melihat

Agar saksi mata bisa mendapat informasi dengan lengkap dan akurat tentang suatu kejadian, saksi perlu mampu melihat dan mendengar secara jelas. Orang yang menyaksikan suatu kejadian dari jarak 20 meter pada siang hari yang cerah akan mampu memberikan informasi yang lebih baik daripada orang yang menyaksikan kejadian dari jarak 100 meter pada saat gerimis. 

Karenanya tidaklah mengejutkan bahwa Mahkamah Agung AS berpendapat bahwa kesempatan saksi untuk melihat suatu kejadian dan tingkat perhatian saksi terhadap kejadian adalah faktor-faktor yang harus dipertimbangkan saat mengevaluasi kesaksian saksi mata. Saksi lebih mungkin mengidentifikasi wajah dengan benar apabila mereka bisa melihat lebih lama dan bila mereka mampu mencurahkan banyak perhatian pada wajah pada fase akuisisi. Sayangnya saksi sering tidak menyadari efek dari kondisi penglihatan yang kurang jelas.

Stres dan Arousal

Individu yang menyaksikan kejahatan seringkali mengalami stres emosi negatif lainnya. Saksi bisa jadi marah saat kejadian terjadi, mencemaskan korban atau takut. Emosi negatif ini mempengaruhi kinerja memori saksi mata. Individu yang menyaksikan kejadian emosional negatif, cenderung memiliki memori yang akurattentang peristiwa itu, namun kurang akurat dalam mengingat apa yang terjadi sebelum dan sesudah kejadian.

Fokus Senjata

Bayangkan, anda akan menyimpan uang di bank saat tiba-tiba lelaki di belakang anda mengeluarkan pistol. Orang itu menodong anda dan mengancam akan menembak jika dia tidak segera diberi uang oleh teller bank. Anda sangat mungkin melihat pada psitol saat teller mengambil uang. Akibatnya anda mungkin hanya ingat tentang pistol daripada kejadian perampokan di bank itu. Fenomena ini disebut sebagai weapon focus effect (efek fokus senjata) telah ditunjukkan dalam beberapa studi (Steblay).

Bias Ras Sendiri

Saksi cenderung lebih akurat dalam mengidentifikasi individu yang merupakan anggota sesama ras ketimbang ras lain. (Meissner dan Brigham). Own race Bias adalah contoh dari efek homogenitas out group. Orang mampu membedakan antara anggota ras mereka sendiri tetapi sering sulit membedakan ras orang lain yang dimatanya tampak sama semua. Efek ini cenderung lebih kuat pada individu kulit putih daripada kulit hitam. Individu kulit hitam cenderung lebih sering melihat dan berjumpa kulit putih daripada sebaliknya, akibatnya, individu kulit hitam mungkin lebih mampu untuk membedakan orang kulit putih.

Interval Retensi

Lamanya waktu yang berlalu antara penyaksian suatu kejadian dengan melakukan identifikasi atau pemberian kesaksian dikenal sebagai interval retensi. Mungkin tidak mengejutkan lagibagi anda untuk mengetahui bahwa akurasi identifkasi saksi mata akan menurun seiring dengan berlalunya waktu. Semakin lama interval antara penyaksian kejadian dengan pemberian kesaksiansemakin kurang akurat kesaksiannya.

Variabel Sistem

Variabel sistem merupakan faktor yang mempengaruhi identifikasi saksi mata yang berada dibawah kontrol langsung dari sistem pengadilan atau hukum. Terdapat beberapa aspek penting dalam variabel sistem:

Pertanyaan Sugestif

Beberapa pertanyaan bersifat sugestif meski tidak dimaksudkan secara sengaja untuk menyesatkan. Misalnya perubahan kecil dalam susunan kata pertanyaan dapat mempengaruhi cara orang menjawabnya. Terdapat tiga penjelasan utama tentang bagaimana informasi pasca kejadian bisa mempengaruhi memori diantaranya adalah:

Over writing Hypothesis

Hipotesis yang berasumsi bahwa informasi yang diterima oleh saksi setelah melihat kejadian menggantikan ingatan tentang kejadian asli. Informasi pasca kejadian, menggantikan informasi yang disimpan seseorang tentang kejadian itu mengubahnya secara permanen.

Forgeting (Hipotesis Lupa)

Seiring dengan berlalunya waktu, orang melupakan detail kejadian yang disaksikannya. Ketika mereka ditanya tentang materi yang telah mereka lupakan, mereka menggunakan informasi lain yang tersedia. Termasuk informasi pasca kejadian, untuk menjawab pertanyaan itu. Jadi menurut hipotesis lupa, informasi pasca kejadian tidak menggantikan memori yang ada, ia hanya mengisi kekosongan yang disebabkan oleh lupa.

Teori Monitoring

Teori ini berpendapat bahwa orang mempertahankan memori kejadian orisinil dan informasi pasca kejadian. Probelmnya adalah saksi sering kesulitan dalam hal source monitoring(monitoring sumber), sebuah proses yang dijalani seseorang dalam menentukan dimana mereka mendapatkan beragam kepingan informasi. Akibatnya, saksi mungkin secara kliru menyimpulkan bahwa kepingan informasi itu berasal dari observasi atas kejadian orisinil.

Bias Lineup

Penyelidik kepolisian sering meminta saksi mengidentifikasi tersangka pelaku kejahatan. Saksi biasanya mengidentifikasi dari sekumpulan foto yang disebut photospread atau presentasi satu atau lebih tersangka. Prosedur identifkasi orang adalah showup dan lineup. Show up lebih dianggap lebih sugestif daripada line up, sebab menyajikan satu tersangka kepada saksi akan mengimplikasikan bahwa orang yang dimaksud adalah benar-benar pelaku kejahatan.
  • Show up adalah prosedur dimana seorang saksi diminta memberi tahu apakah seorang tersangka adalah pelaku. 
  • Line up adalah kepada saksi ditunjukkan beberapa orang dalam satu urutan barisan untuk mengidentifikasi pelaku. 

Menilai Akurasi Saksi Mata

Salah satu cara mengidentifikasi akurasi saksi mata adalah dengan mempertimbangkan tingkat keyakinan saksi dalam mengidentifikasi atau memberikan kesaksian. Cara lain untuk menentukan akurasi saksi mata adalah adalah dengan mengukur lamanya waktu yang dibutuhkan saksi untuk membuat identifikasi.

Saksi yang mengidentifikasi tersangka dengan cepat, mungkin lebih akurat daripada saksi yang butuh waktu lebih lama. Pendekatan lain adalah meminta saksi mengidentifkasi wajah pelaku melalui foto, kemudian mengidentifkasi tubuhnya, dari deret foto kedua, dan akhirnya mengidentifikasi suara dan rekaman.

Tingkat Pengaruh Riset Terhadap Saksi Mata

Riset psikologi sosial terhadap identifikasi dan kesaksian saksi mata telah diperhatikan dan dipakai oleh pembuat kebijakan. Misalnya terkait pedoman wawancara yang mensugestikan untuk menggunakan pertanyaan terbuka daripada menggunakan pertanyaan yang mengarahkan. Pedoman yang disugestikan riset psikologi sosial juga merekomendasikan agar petugas kepolisian secara eksplisit memberi tahu saksi mata bahwa pelaku mungkin ada atau mungkin tidak ada. Di deretan.

Pembelaan Kriminal

Selain mempelajari saksi mata, psikolog sosial juga mempelajari pengalaman pembela kriminal. Dalam bagian ini, akan dibahas tentang pembelaan kriminal yaitu pengakuan palsu dan deteksi kebohongan.

Pengakuan Palsu

Ketika polisi menanyai tersangka kejahatan, mereka pada umumnya berusaha agar tersangka mengakui kejahatan yang tidak dilakukannya, namun pengakuan palsu tak jarang dilakukan. Kassin dan Wrightsman mengidentifikasi tiga tipe pengakuan palsu.

Voluntary False Confession

Terkadang orang membuat voluntary false confession (pengakuan palsu sukarela), misalnya seorang ayah mungkin mengaku melakukan kejahatan agar anaknya tidak masuk penjara

Coerced-compliant Compliant False Confession

Pengakuan kadang juga bisa dipaksakan (pengakuan palsu terpaksa) terjadi ketika seseorang ditekan agar mengaku bersalah, tetapi secara pribadi tetap tidak bersalah.

Coerced-internalized False Confession

Pengakuan palsu yang dipaksa dari dalam terjadi ketika orang merasa melakukan tindak kejahatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan.

Deteksi Kebohongan

Orang berbohong acapkali memberi tanda emosional seperti banyak berkedip atau menggoyangkan kepala. Dengan informasi non verbal tersebut, kadang pengamat tidak mampu mendeteksi kebohongan. Kempampuan polisi dalam mendeteksi kebohongan dapat menjadi masalah tersendiri bagi, meskipun profesional dalam menyelidiki kasus kejahatan namun rendah kompetensinya dalam mendeteksi kebohongan.

Pemilihan Juri dan Pengambilan Keputusan

Mengingat pentingnya pengadilan oleh juri dalam sistem hukum Amerika, tidak mengejutkan bahwa para psikolog sosial melakukan banyak riset terhadap keputusan juri.

Pemilihan Juri

Pada awal setiap pengadilan, sebuah proses yang disebut voir dire dilakukan untuk memilih para juri. Selama voir dire (pemilihan juri yang dilakukan pada awal setiap pengadilan) hakim atau jaksa mengkaji calon-calon juri untuk mengetahui opini atau bias yang mungkin mengganggu kemampuan mereka memberikan keputusan yang adil. Jika ada alasan bahwa seorang juri tidak bisa memutuskan dengan adil, ia tidak boleh menjadi juri. 

Selain itu, jaksa dapat menggunakan jumlah peremptory challenges terbatas untukmengeluarkan juri tanpa memberi tahu alasan. Peremptory challengesdapat digunakan untuk mengeliminasi juri karena sejumlah alasan seperti pekerjaan dan ciri personalitas, akan tetapi Peremptory challengestidak bisa dipakai untuk mengeliminasi juri berdasarkan gender atau ras. Alasan dibalik peremptory challenges adalah jaksa akan mampu mengeliminasi juri yang bereaksi secara berat sebelah.

Sikap Terhadap Hukuman Mati dan Death Qualification

Kasus hukuman mati menimbulkan isu yang sangat penting bagi pemilihan juri. Dalam kasus hukuman mati, voir diresering dipakai untuk mengeliminasi calon juri yang tidak mendukung hukuman mati. Pendukung protes death qualification mengklaim bahwa juri yang tidak mendukung hukuman mati sangat mungkin mendukung tersangka yang bersalah agar tidak mendapat hukuman mati. 

Akan tetapi, penentang hukuman mati menegaskan bahwa penyingkiran orang yang menentang dapat menyebabkan bias dalam menentukan keputusan yang diambil. Death qualification adalah individu yang tidak mendukung hukuman mati dikeluarkan dari kelompok juri dalam kasus hukuman mati.

Model Cerita dalam Pengambilan Keputusan Juri

Setelah juri dipilih, para juri harus mempertimbangkan bukti-bukti, memutuskan apakah tersangka bersalah atau tidak, dan dalam beberapa kasus, para juri dapat merekomendasikan hukuman yang pantas. Untuk itu para juri harus memahami banyak bukti dan kesaksian yang saling bertentangan. Bagaimana juri mengintegrasikan semua informasi itu menjadi suatu keputusan. Terkait dengan hal tersebut, Penington dan Hastie mengusulkan model cerita (story model) sebagai cara untuk menjelaskan pembuatan keputusan juri.

Menurut model ini, menggunakan bukti yang disajikan di pengadilan untuk menciptakan cerita tentang kejadian perkara. Misalnya juri menyusun cerita tentang perampokan di toko pakaian yang memuat informasi tentang motif dan tujuan tersangka (misalnya apakah pelaku butuh uang untuk biaya anaknya?) dan tindakannya terhadap pelayan toko (apakah menodongkan senjata?). Dalam cerita juga mencakup karakteristik situasi, misalnya apakah ada orang lain yang hadir?, terkait dari akibat kejadian tersebut, misalnya uang yang diambil.

Aplikasi Psikologi Sosial

Kajian-kajian psikologi sosial sangat berguna untuk memahami pertanyaan-pertanyaan penting yang berhubungan dengan sistem hukum, sistem kesehatan, organisasi, kepemimpinan, karena basis dari kajian psikologi sosial berangkat dari asumsi interaksi sosial antara dua orang atau lebih. Myers mengemukakan bahwa dalam setting klinis, psikologi Sosial dapat diterapkan mengevaluasi dan mempromosikan kesehatan mental dan fisik.

Tidak hanya itu saja di Pengadilan, Psikologi Sosial dapat membantu mengeksplorasi pemikiran sosial dan pengaruh sosial pada anggota juri dan dewan juri. Psikologi Sosial juga berpikir tentang Masa Depan yang berkelanjutan," mengeksplorasi bagaimana prinsip sosial-psikologis dapat membantu mencegah krisis ekologi yang mengancam masyarakat sebagai akibat dari meningkatnya jumlah penduduk, konsumsi, dan perubahan iklim.

Kontribusi Psikolog Sosial pada Sistem Hukum

Di Amerika, psikolog sosial berkolaborasi dengan Departemen Kehakiman untuk menyusun pedoman nasional bagi polisi yang dipakai saat wawancara dengan saksi ahli. Dibagian ini akan diulas sumbangan psikologi sosial pada dua area penting sistem hukum yakni:

Kesaksian Ahli (Expert Testimony)

Para psikolog sosial sering diminta untuk menjadi saksi ahli untuk menjelaskan temuan riset guna memberi kerangka pemahaman bagi juri dan hakim dan untuk mengevaluasi bukti dalam kasus tertentu (Monahan dan Walker). Dua isu utama dalam kesaksian ahli adalah kualitas testimoni dan efeknya pada juri. Kualitas kesaksian dari ahli adalah penting karena pengadilan tidak ingin juri mempertimbangkan bukti yang tidak reliabel atau tidak jelas.

Jadi psikolog sosial bersaksi hanya tentang riset yang memenuhi standar hukum untuk diterima sebagai bukti. Kesaksian ahli sangat berpengaruh apabila saksi ahli bersaksi sebelum saksi lain dihadirkan, karena ia akan memberi kerangka untuk mengevaluasi kesaksian saksi-saksi lain. Jadi kesaksian dari pakar yang menghubungkan riset dengan kasus tertentu berpengaruh lebih besar daripada kesaksian pakar yang hanya menyajikan seperangkat temuan riset.

Ringkasan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan)

Amicus curiae adalah dokumen yang ditulis oleh psikolog dan jaksa yang berisi ringkasan literatur ilmiah yang diberikan pada pengadilan. Ringkasan amicus (sahabat pengadilan) berisi ringkasan psikologi yang relevan bagi hakim untuk memberi konteks ilmiah guna memutuskan kasus tertentu. Dengan menyusun ringkasan amicus tersebut, para psikolog sosial dapat memberi bukti ilmiah pada pengadilan yang dapat menghasilkan keputusan hukum yang lebih adil.

Sekian artikel Universitas Psikologi tentang Hubungan Psikologi Sosial dalam Bidang Hukum dan Contoh Kasusnya. Semoga bermanfaat.

Daftar Pustaka

  • Baron, A. R. & Byrne, D. 2003. Psikologi Sosial. Penerbit Erlangga. Jakarta. Edisi kesepuluh. 
  • Koentjoro. 2012. Kriminologi dalam perspektif psikologi sosial. Universitas Gadjah Mada. 
  • Markum, E. 2009. Pengentasan kemiskinan dan psikologi sosial. Psikobuana. Vol. 1. No, 1, 1-12. 
  • Taylor, E. S., Peplau, A. L., & Sears, O. D. 2009. Psikologi Sosial. Prenada Media Group. Jakarta.
Universitas Psikologi
Universitas Psikologi Media belajar ilmu psikologi terlengkap yang berisi kumpulan artikel dan tips psikologi terbaru hanya di universitaspsikologi.com | Mari kita belajar psikologi dengan cara yang menyenangkan.

Posting Komentar untuk "Hubungan Psikologi Sosial dalam Bidang Hukum dan Contoh Kasusnya"